Infeksi HIV dan AIDS, merupakan masalah global yang perlu mendapat perhatian khusus.
Tidak hanya pada orang dewasa, tetapi penyakit ini juga menyerang bayi dan anak. Setiap tahunnya, ratusan anak dari seluruh dunia terinfeksi HIV dan meninggal akibat AIDS karena tidak mendapat penanganan yang sesuai.
Di dunia, setiap harinya sekitar 2000 anak usia 15 tahun ke bawah terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke bayinya, sekitar 1400 anak-anak usia di bawah 15 tahun meninggal akibat AIDS, sementara sekitar 6000 orang dalam usia produktif antara 15-24 tahun terinfeksi HIV.
Penularan HIV pada anak sebenarnya dapat dicegah. Program pencegahan ini sudah dilaksanakan di negara-negara yang berpendapatan tinggi, yang siap dalam pencegahan HIV. Pelayanan untuk mendeteksi dan mengobati HIV telah menurunkan penularan dari ibu ke anak hingga 2% dan meningkatkan ketahanan hidup bayi yang terinfeksi HIV. Di Indonesia, telah dibuat program pengendalian HIV/AIDS oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2007. Selain itu Departemen Kesehatan juga bekerja sama dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) untuk menangani kasus HIV/AIDS pada anak, meskipun masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi.
Apa itu HIV dan AIDS?
HIV merupakan kepanjangan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang sistem imun manusia. Virus tersebut menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau sindrom defisiensi imun didapat. Penyakit AIDS ditandai dengan serum dan virus HIV positif, dan memiliki gejala klinis yang berkaitan dengan AIDS, termasuk di antaranya infeksi bakteri oportunistik (kuman yang sebetulnya tidak menimbulkan penyakit pada orang normal), atau komplikasi pada sistem saraf, paru atau jantung.
Bagaimana bayi dan anak-anak bisa terinfeksi HIV?
Penularan dari ibu ke anak (
mother to child transmission) berperan utama dalam penyebaran HIV pada anak. Bila seorang wanita yang telah terinfeksi HIV dan mengandung, maka kemungkinan bayinya akan terinfeksi selama kehamilan atau saat proses melahirkan per vaginam (secara normal). Selain itu, HIV juga bisa ditularkan melalui ASI.
Selain dari penularan ibu ke anak, beberapa anak dapat terkena HIV di dalam rumah sakit atau situasi medis lain; misalnya melalui jarum suntik yang belum steril atau melalui transfusi darah yang telah terinfeksi HIV. Di negara-negara yang lebih maju, masalah-masalah ini telah diatasi, tapi di lingkup yang lebih miskin sumber daya hal tersebut masih merupakan isu penting. Pada anak yang lebih tua, aktivitas seksual dan penggunaan narkoba juga merupakan resiko untuk terinfeksi HIV.
Gejala anak yang terinfeksi HIV
Kebanyakan anak dengan HIV tidak bertambah berat badannya tetapi dapat juga tumbuh dengan normal. Kemampuan motorik dan perkembangan mental mereka seringkali tertinggal dibanding anak normal seperti merangkak, berjalan dan berbicara. Seiring dengan perkembangan penyakitnya, banyak anak mengalami masalah sistem saraf seperti sulit berjalan, performa sekolah yang buruk, kejang, dan gejala ensefalopati HIV (kelainan pada otak). Seperti juga orang dewasa yang telah terinfeksi HIV, anak-anak dengan HIV juga dapat terkena infeksi oleh kuman lain yang mengancam jiwa, meskipun angka kejadiannya berbeda dengan orang dewasa. Di antaranya:
- Toksoplasmosis (penyakit akibat parasit), lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa.
- Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), yang merupakan penyebab utama kematian pada anak yang terinfeksi HIV atau AIDS
- Penyakit paru yang disebut lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP). Jarang pada orang dewasa, lebih sering pada anak. Penyakit ini dapat menyebabkan sulit bernapas secara progresif seperti PCP dan biasanya harus dirawat.
- Kandidiasis berat (infeksi jamur) yang dapat menyebabkan diaper rash (ruam popok) dan infeksi pada mulut dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan makan
- Bila sudah bertambah parah, anak yang terinfeksi HIV dapat mengalami diare kronik karena infeksi oportunistik/kuman lain.
Anak-anak dengan HIV menderita penyakit infeksi yang umum terjadi pada anak lebih sering dan lebih parah dibanding anak yang tidak terinfeksi. Infeksi tersebut dapat menyebabkan kejang, pneumonia, pilek berulang, diare, dehidrasi dan masalah-masalah lain yang dapat menyebabkan anak harus dirawat di rumah sakit lebih lama dan adanya masalah nutrisi.
Diagnosis
Umumnya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak sangat sulit, karena pada bulan-bulan awal kehidupan, bayi bisa tampak sehat dan normal. Untuk memastikan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tepat. Uji antibodi HIV dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Bayi yang lahir dari ibu penderita HIV, akan memiliki antibodi terhadap HIV yang didapat dari ibu melalui tali pusat, dan bertahan di dalam darah bayi hingga usia 18 bulan (disebut juga antibodi maternal). Karena antibodi maternal ini menunjukkan status infeksi HIV ibu, bukan si bayi, maka uji antibodi HIV tidak begitu berguna pada bayi baru lahir dan bayi di bawah usia 18 bulan.
Akhir-akhir ini, ditemukan pemeriksaan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi usia 6 bulan atau di bawahnya. Pemeriksaan ini disebut tes PCR (
polymerase chain reaction) HIV dan dapat dilakukan pada usia berapapun.
Diagnosis dini sangat penting, karena keadaan imunodefisiensi yang berat dan mengancam kehidupan dapat terjadi dengan cepat. Tata laksana yang optimal infeksi HIV pada bayi dan anak, memerlukan diagnosis yang tepat waktu dan akurat.
Pengobatan
Bayi dan anak yang telah terinfeksi HIV harus ditangani oleh dokter anak yang mengerti tentang HIV. Penanganan HIV positif pada bayi dan anak sangat sulit, tapi ada beberapa pilihan terapi yang tersedia.
Terapi antiretroviral (ARV) bekerja sangat baik pada anak-anak, angka kematian anak yang terinfeksi HIV menurun sebanyak yang ada pada dewasa. Menentukan waktu yang tepat untuk memulai terapi pada anak merupakan hal yang sulit. Terapi yang lebih cepat dapat mencegah kerusakan sistem imun. Meskipun demikian, pemberian ARV bukan merupakan gawat darurat. Yang penting dalam penanganan HIV anak adalah kepatuhan minum obat yang merupakan kunci keberhasilan pengobatan anak yang terinfeksi HIV dan mencegah terjadinya resistensi (kebal terhadap obat).
Pencegahan
Oleh karena penularan dari ibu ke anak berperan utama dalam penyebaran HIV pada anak, maka cara utama untuk mencegah anak-anak terinfeksi HIV adalah dengan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Program pencegahan transmisi dari ibu ke anak (
prevention of mother to child transmission of HIV/ PMTCT) dilakukan untuk menurunkan angka penderita infeksi HIV pada anak. Program ini mencakup skrining HIV pada ibu hamil, pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV positif, dan asuhan perawatan saat bayi lahir. Pada ibu hamil yang menderita HIV, proses persalinan sebaiknya melalui operasi Caesar.
Selain itu, oleh karena virus HIV dapat ditularkan melalui ASI, maka sebaiknya ASI diganti dengan susu formula, dan tidak menggabungkan pemberian keduanya.
Ada beberapa imunisasi yang dapat dilakukan pada bayi dan anak yang terinfeksi HIV. Ada baiknya melakukan konsultasi dengan dokter anak sebelum memberikan imunisasi.
Orangtua dengan anak HIV
Banyak orangtua yang khawatir anaknya dapat menginfeksi orang lain. Orang tidak terinfeksi HIV dengan tinggal bersama, bermain, sekolah, atau berbagi makanan/mainan dengan seseorang yang terinfeksi HIV. Hewan dan serangga juga tidak menularkan HIV. Virus HIV dapat mati dengan mudah bila berada di luar tubuh manusia. Meskipun demikian, tetap perlu menjaga higiene dan kebersihan tubuh, seperti mencuci tangan dengan sabun, karena bisa juga terjadi infeksi dari bakteri atau virus lain.
Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah darah, misalnya saat pembersihan luka, perlu memakai alat perlindungan diri misalnya sarung tangan. Atau jika terpapar/terkena percikan darah, maka segera bersihkan dengan air secepat mungkin.
Bila terdapat bercak darah pada pakaian, cuci di air dingin terlebih dulu, lalu gunakan deterjen seperti biasa. Infeksi HIV tidak menular melalui liur, oleh karena itu peralatan bayi seperti botol susu dan peralatan makan dapat dicuci dan disterilisasi seperti biasa.
Bercak darah di lantai atau perabot dapat dibersihkan dengan kain atau tisu sekali pakai, lalu buang ke dalam kantung plastik. Gunakan air sabun hangat untuk membersihkan area yang terkena, lalu buang kain/tisu seperti biasa.
Perlu diperhatikan oleh orangtua bahwa pemberian obat harus tepat. Ada beberapa masalah yang bisa terjadi dalam hal ini misalnya, pemberian obat yang tidak sesuai dengan jadwal sekolah atau bermain. Pemberian obat di depan umum atau situasi social lain dapat menyebabkan perasaan malu dan stress emosional. Liburan atau perjalanan juga dapat menyebabkan sulitnya pemberian obat yang tepat. Hal-hal tersebut harus dapat diantisipasi dengan baik dan perlu dilakukan perencanaan ke depannya.
By dr. Dwinanda Aidina Fitrani Zakiudin Anakku.net.